Dalam Islam, saat kita merujuk pada
Qur’an maka kita dapati konsep keadilan sangat eksplisit. Hal itu terlihat dari penyebutan kata
keadilan di dalam al- Qur’an mencapai lebih dari seribu kali, yang berarti;
kata urutan ketiga yang banyak disebut al-Qur’an setelah kata Allah dan ‘ ilm.
Term-term adil yang digunakan dalam al-Quran terdapat tiga bentuk, yaitu
al-mizan, al-‘adl, dan al-qisth. Keadilan biasa dimaknakan dengan memberikan
hak kepada yang berhak (yu’thi alhaqq haqqahu) atau meletakkan sesuatu pada
tempatnya (wadh’u assyai ‘ala maudhi’ihi). Menurut Syed Muhammad Naquib
Al-Attas (1992), secara bahasa keadilan pada umumnya adalah tentang; (i)
pengetahuan dan kemampuan untuk menempatkan yang betul dan wajar bagi sesuatu
benda atau manusia, (ii) kebenaran yang menentang kesalahan, (iii) cara atau
batasan, (iv) keuntungan kerohanian terhadap kerugian, dan (v) kebenaran
terhadap kepalsuan.
Secara ekonomi, keadilan mesti ditegakkan
dalam dua ranah sekaligus: Keadilan secara umum (Adl ’am) bermakna perwujudan
sistem dan struktur politik maupun ekonomi yang adil. Ranah ini merupakan
tanggungjawab penguasa dan pemerintah. Keadilan secara khusus (Adl khas)
bermakna pelaksanaan keadilan dalam kehidupan muamalah antar kaum muslim dan
sesama manusia. Adl khas meliputi bidang yang luas seperti larangan melanggar
hak orang lain. Islam tidak menghendaki adanya ketimpangan ekonomi antara satu
orang dengan yang lainnya. Oleh karenanya salah satu keistimewaan penting dalam
sistem ekonomi Islam adalah pengaturan perilaku rakyat dan pemerintahan yang
meliputi dua dimensi materi dan spiritual sekaligus. Sebab dalam Islam, tujuan
utama adalah mengantarkan manusia kepada kesempurnaan ruhani dan spiritual.
Karena itu dalam sistem ekonomi Islam mekanisme yang dijalankan adalah untuk
mendukung terwujudnya tujuan itu. Dua dimensi materi dan spiritual itu nampak
jelas dalam ajaran Islam yang melarang monopoli, penimbunan harta (Al Ihtikar)
dan perintah mengeluarkan zakat dan sedekah. Larangan demikian ditemukan dalam
al-Qur’an. Allah SWT berfirman: Apa saja harta rampasan (fay’) yang diberikan
Allah kepada Rasul-Nya yang berasal dari penduduk kota-kota maka adalah untuk
Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan
orang-orang yang dalam perjalanan; supaya harta itu jangan hanya beredar di
antara orang-orang kaya di antara kalian saja. (QS.59: 7). Nabi Muhammad Saw
juga bersabda: Tidak menimbun barang kecuali orang-orang yang berdosa. (HR.
Muslim). Orang yang bekerja itu diberi rizki, sedang orang yang menimbun itu
diberi laknat. (HR. Ibnu Majah). Siapa saja yang menyembunyikan/al ihtikar
(gandum atau barang-barang keperluan lainnya dengan mengurangi takaran dan
menaikkan harganya), maka dia termasuk orang- orang yang zalim.
Prinsip-prinsip Keadilan Sosial dalam Ekonomi Islam
Berbasis Tauhid
Keadilan sosial dalam Islam
merupakan implikasi dari prinsip fundamental yang mendasari seluruh ajaran
Islam, yakni tauhid. Tauhid bukanlah ajaran abstrak dan ‘melangit’ semata, akan
tetapi berhubungan langsung dengan persoalan kehidupan individual dan sosial,
serta mengilhami rasa tanggung jawab sosial terhadap orang-orang yang
membutuhkan atau berkekurangan. Jika Allah sebagai satu-satunya pencipta, maka
seluruh ciptaannya adalah sama (egaliter) memiliki hak karunia-Nya. Semua
pernyataan tadi diperkuat dengan keharusan mengimani akan Hari Pengadilan
(yaumul hisab) sebagai pertanggungjawaban setiap individu terhadap-Nya. Sebab
implikasi penolakan terhadap Hari kiamat adalah melemah bahkan hilangnya rasa
tanggung jawab dan tidak peduli terhadap seruan berbuat baik kepada kaum yang
lemah (dhu’afa). Oleh karenanya, sejak awal sekali al-Quran menuduh politeisme
(syirk) masyarakat Mekkah yang menjadi gejala segmentasi masyarakat dan
ketimpangan sosial adalah sebab utama kebangkrutan sosial dan hilangnya rasa solidaritas
antar sesama. Karenanya keprihatinan Islam di Mekkah pada masa awalnya adalah
politeisme dan kezaliman sistem ekonominya. Perilaku syirk (politeisme)
dipandang sebagai dosa tak terampuni (QS 4:48,116) dan sebagai kejahatan
manusia terbesar terhadap dirinya sendiri (QS.31:13). Implikasi politeisme,
tidak adanya iman Hari kepada Hari Kiamat ini bukan saja menimbulkan
kepincangan sosial tetapi juga menumpuk sikap individualistis dan menimbun
kekayaan sebanyak mungkin, penindasan terhadap kaum lemah, bahkan berakibat
terhadap pandangan bahwa dengan kekayaan seseorang dapat hidup secara abadi
tanpa sangsi keagamaan apa pun, “Dan mereka berkata: ‘kami lebih banyak
mempunyai harta dan anak-anak dan sekali-kali kami tidak akan diazab” (QS.
34:35).
Distribusi
kesejahteraan yang merata (Justified Distribution of Welfare)
Di antara masalah terpenting yang
mendapat perhatian Islam adalah pembagian kekayaan secara adil di tengah
masyarakat. Al-Qur’an dengan tegas mengatakan, “ Supaya harta itu tidak beredar
di kalangan orang kaya saja di antara kamu” (QS.59: 7), “Di antara harta mereka
terdapat hak fakir miskin, baik peminta-minta maupun orang yang tak
meminta-minta” (QS. 70: 24). Pembagian kekayaan ini dilakukan dalam tiga tahap,
pra produksi, saat produksi dan pasca produksi. Dalam hal pembagian kekayaan
ini ada keniscayaan untuk menerapkan keadilan, penyusunan kebijakan dan campur
tangan pemerintahan Islam dalam aktivitas ekonomi. Karena itu, dalam sistem
ekonomi Islam selain kepemilikan pribadi ada juga kepemilikan negara dan
kepemilikan umum. Tentunya, apa saja yang dimiliki oleh negara akan
dimanfaatkan untuk kepentingan umum dan pembiayaan pengelolaan negara. Ada pula
kekayaan milik umum seperti hutan, laut, danau, gunung dan lainnya yang menurut
Islam adalah milik umum. Hal-hal tadi tidak berada dalam kepemilikan negara.
Negara hanya berfungsi sebagai pengawas dan pengatur pemanfaatannya, yang
hasilnya digunakan untuk kepentingan umum. Dengan demikian, kekayaan ini tidak
jatuh dalam monopoli segelintir orang tertentu
Dalam praktiknya, seringkali timbul
konflik pengertian antara prinsip keadilan distributif ini dengan konsep
“charity”. Konsep “charity” menyangkut ide “bagi semua sesuai kebutuhannya” (to
each according to his needs), sedangkan dalam prinsip distributive justice,
ideanya adalah “bagi semua sesuai dengan kontribusinya” (to each according to
his contribution). Kesalahpahaman mengenai kedua pengertian ini sering
menimbulkan dua cara pandangan ekstrim pada masing-masing posisi, sehingga
menimbulkan perdebatan dan bahkan konflik yang tidak berkesudahan. Yang satu
terlalu menekankan doktrin kesucian hak milik dan kesucian kontrak (the
sanctity of property and the sanctity of contract), sedangkan yang lain
menekankan pentingnya intervensi pemerintahan Negara untuk mempertahankan atau
memaksakan tegaknya tata sosial yang berkeadilan.
Perlu diketahui, pada tataran
konsep distribusi kekayaan inilah, salah satu prinsip yang menempatkan sistem
ekonomi Islam berada ditengah antara sistim kapitalisme dan sistim sosialisme.
Ekonomi Islam memfokuskan perhatiannya pada distribusi sebelum membahas sektor
produksi. Siapakah yang memilikinya? Dengan cara bagaimana produk
distribusikan, dan apa saja kewajibannya? Karenanya dalam rangka sistem
distribusi kekayaan yang berkeadilan, Ekonomi Islam menganggap perlunya
harmonitas antara tiga ranah kekuasaan ekonomi, yaitu negara (state), kekuatan
masyarakat (civil society), dan kekuatan pasar (market) sekaligus. Bagaimana
pun, dalam mekanismenya hubungan sinergis di antara ketiga cabang kekuasaan
negara, pasar, dan masyarakat selalu diperlukan peran pengendali utama, yang
berfungsi sebagai “dirigent” atau supervise. Peran demikian tidak lain harus
dan hanya dapat dimainkan oleh negara yang mendapat mandat dari seluruh rakyat untuk
memegang dan menyelenggarakan kekuasaan secara umum.
Prinsip Jaminan
sosial (Social Security)
Dalam sistim ekonomi Islam,
keadilan sosial dipandang tidak akan mungkin tercapai tanpa adanya prinsip ini.
Prinsip Jaminan sosial atau at Takaful ijtima’i yang dimaksud dalam hal ini
adalah keadaan dimana setiap orang dalam masyarakat saling menjamin dan
menanggung beban kemaslahatan sesama. Prinsip ini banyak disebutkan dalam al
Qur’an maupun Hadits Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, diantaranya, “Tidakkah
Kamu melihat orang yang mendustakan agama? Mereka adalah orang-orang yang
membiarkan anak yatim dan mereka juga tidak member makan orang-orang miskin”
(QS. Al-Ma’un:1-3). Rasulullah juga bersabda, “perumpamaan orang-orang beriman
itu dalam kasih sayang, sebagaimana batang tubuh, jika salah satu anggota tubuh
itu sakit, maka anggota tubuh yang lain juga merasakan demam” (HR.Bukhori dan
Muslim). Namun begitu, Menurut Chapra (2001) mengutip pendapat Imam Ghazali,
sekalipun ilmu ekonomi Islam tetap berkonsentrasi pada aspek alokasi dan
distribusi sumber-sumber daya, seperti halnya pada ilmu ekonomi konvensional,
namun tujuan utama ekonomi Islam adalah harus tetap merealisasikan maqashid,
sebab tujuan utama syari’ah adalah
mendorong kesejahteraan manusia, yang terletak dalam perlindungan terhadap
agama mereka (diin), diri (nafs), akal (‘aql), keturunan (nasl), harta benda
(maal). Apa saja yang menjamin terlindungnya lima perkara tersebut berarti
melindungi kepentingan dan kemaslahatan umum. Tentang kaitan antara hukum-hukum
syariah dengan kemaslahatan manusia banyak dibahas oleh para ulama diantaranya
Imam Al-Izz bin Abdul Salam, dalam kitab beliau Qawaid al-Ahkam fi Masalih
al-Anam. Sebagai kesimpulan,
setidaknya ada empat nilai utama
yang bisa ditarik dari sistem ekonomi Islam dalam membentuk keadilan sosial
yaitu:
Tauhid dan Maslahah Syari’yyah
sebagai landasan pemikiran dan tujuan aplikasi dari ekonomi Islam untuk
mewujudkan keadilan sosial dari semua aspek kehidupan.
Moralitas menjadi pembatas atas
kebebasan yang dimiliki, sehingga setiap individu dalam melakukan aktivitasnya
selalu mempertimbangkan dampaknya bagi orang lain.
Kesetaraan (equality) kewajiban dan
hak, hal ini mampu menyeimbangkan antara hak yang diterima dan kewajiban yang
harus dilaksanakan.
Peranan positif dari negara,
sebagai regulator yang mampu memastikan kegiatan ekonomi berjalan dengan baik
sehingga tidak ada pihak yang merasa dirugikan oleh pihak lain.
Berusaha untuk selalu bermusyawarah
, bekerja sama, dan saling menyokong sebab hal ini menjadi salah satu fokus
utama dalam ekonomi Islam.
Terakhir hal yang tak boleh
dilupakan dalam membangun sistim ekonomi yang berkeadilan sosial, adalah bahwa
ekonomi Islam atau ekonomi syariah tidak boleh direduksi hanya dengan
memusatkan pada upaya membangun bank-bank syariah an sich, tetapi yang lebih
penting dari itu ekonomi Islam harus dapat menangkal sistem ekonomi yang
exploitatory secara luas, yang memelihara dan menumbuhkan kesenjangan ekonomi,
yang membiarkan terjadinya trade off secara sistemik, yang subordinatif dan
diskriminatori, yang membiarkan berkembangnya laissez faire dalam arti luas
melalui usaha dan ekonomi yang real dan menyentuh hajat hidup seluruh lapisan
dan strata ekonomi dalam masyarakat kita. Sehingga pada gilirannya ekonomi Islam
tidak lagi hanya bersifat “langitan” sebagaimana yang disindir oleh Hassan
Hanafi (penulis buku Minal Aqidah Ila Al-Tsaurah) bahwa keagamaan kita
terkadang lebih berorientasi kepada Tuhan daripada berorientasi kepada makhluk
(tidak seimbang). Lebih senang melongok ke langit daripada menekuri bumi.
Sehingga keadilan di bumi tak kunjung menjadi kesadaran keagamaan. Akibatnya,
keadilan pun tak kunjung muncul dalam putaran arus kehidupan.
Sumber : http://puzzleminds.com/ekonomi-islam-dan-keadilan-sosial/#sthash.MX2Zvwpw.dpuf
No comments:
Post a Comment