Tuesday, 5 April 2016

Dimensi Dalam Ekonomi Islam


Dalam Islam, saat kita merujuk pada Qur’an maka kita dapati konsep keadilan sangat eksplisit.  Hal itu terlihat dari penyebutan kata keadilan di dalam al- Qur’an mencapai lebih dari seribu kali, yang berarti; kata urutan ketiga yang banyak disebut al-Qur’an setelah kata Allah dan ‘ ilm. Term-term adil yang digunakan dalam al-Quran terdapat tiga bentuk, yaitu al-mizan, al-‘adl, dan al-qisth. Keadilan biasa dimaknakan dengan memberikan hak kepada yang berhak (yu’thi alhaqq haqqahu) atau meletakkan sesuatu pada tempatnya (wadh’u assyai ‘ala maudhi’ihi). Menurut Syed Muhammad Naquib Al-Attas (1992), secara bahasa keadilan pada umumnya adalah tentang; (i) pengetahuan dan kemampuan untuk menempatkan yang betul dan wajar bagi sesuatu benda atau manusia, (ii) kebenaran yang menentang kesalahan, (iii) cara atau batasan, (iv) keuntungan kerohanian terhadap kerugian, dan (v) kebenaran terhadap kepalsuan.
Secara ekonomi, keadilan mesti ditegakkan dalam dua ranah sekaligus: Keadilan secara umum (Adl ’am) bermakna perwujudan sistem dan struktur politik maupun ekonomi yang adil. Ranah ini merupakan tanggungjawab penguasa dan pemerintah. Keadilan secara khusus (Adl khas) bermakna pelaksanaan keadilan dalam kehidupan muamalah antar kaum muslim dan sesama manusia. Adl khas meliputi bidang yang luas seperti larangan melanggar hak orang lain. Islam tidak menghendaki adanya ketimpangan ekonomi antara satu orang dengan yang lainnya. Oleh karenanya salah satu keistimewaan penting dalam sistem ekonomi Islam adalah pengaturan perilaku rakyat dan pemerintahan yang meliputi dua dimensi materi dan spiritual sekaligus. Sebab dalam Islam, tujuan utama adalah mengantarkan manusia kepada kesempurnaan ruhani dan spiritual. Karena itu dalam sistem ekonomi Islam mekanisme yang dijalankan adalah untuk mendukung terwujudnya tujuan itu. Dua dimensi materi dan spiritual itu nampak jelas dalam ajaran Islam yang melarang monopoli, penimbunan harta (Al Ihtikar) dan perintah mengeluarkan zakat dan sedekah. Larangan demikian ditemukan dalam al-Qur’an. Allah SWT berfirman: Apa saja harta rampasan (fay’) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya yang berasal dari penduduk kota-kota maka adalah untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan; supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya di antara kalian saja. (QS.59: 7). Nabi Muhammad Saw juga bersabda: Tidak menimbun barang kecuali orang-orang yang berdosa. (HR. Muslim). Orang yang bekerja itu diberi rizki, sedang orang yang menimbun itu diberi laknat. (HR. Ibnu Majah). Siapa saja yang menyembunyikan/al ihtikar (gandum atau barang-barang keperluan lainnya dengan mengurangi takaran dan menaikkan harganya), maka dia termasuk orang- orang yang zalim.



Prinsip-prinsip Keadilan Sosial dalam Ekonomi Islam
Berbasis Tauhid
Keadilan sosial dalam Islam merupakan implikasi dari prinsip fundamental yang mendasari seluruh ajaran Islam, yakni tauhid. Tauhid bukanlah ajaran abstrak dan ‘melangit’ semata, akan tetapi berhubungan langsung dengan persoalan kehidupan individual dan sosial, serta mengilhami rasa tanggung jawab sosial terhadap orang-orang yang membutuhkan atau berkekurangan. Jika Allah sebagai satu-satunya pencipta, maka seluruh ciptaannya adalah sama (egaliter) memiliki hak karunia-Nya. Semua pernyataan tadi diperkuat dengan keharusan mengimani akan Hari Pengadilan (yaumul hisab) sebagai pertanggungjawaban setiap individu terhadap-Nya. Sebab implikasi penolakan terhadap Hari kiamat adalah melemah bahkan hilangnya rasa tanggung jawab dan tidak peduli terhadap seruan berbuat baik kepada kaum yang lemah (dhu’afa). Oleh karenanya, sejak awal sekali al-Quran menuduh politeisme (syirk) masyarakat Mekkah yang menjadi gejala segmentasi masyarakat dan ketimpangan sosial adalah sebab utama kebangkrutan sosial dan hilangnya rasa solidaritas antar sesama. Karenanya keprihatinan Islam di Mekkah pada masa awalnya adalah politeisme dan kezaliman sistem ekonominya. Perilaku syirk (politeisme) dipandang sebagai dosa tak terampuni (QS 4:48,116) dan sebagai kejahatan manusia terbesar terhadap dirinya sendiri (QS.31:13). Implikasi politeisme, tidak adanya iman Hari kepada Hari Kiamat ini bukan saja menimbulkan kepincangan sosial tetapi juga menumpuk sikap individualistis dan menimbun kekayaan sebanyak mungkin, penindasan terhadap kaum lemah, bahkan berakibat terhadap pandangan bahwa dengan kekayaan seseorang dapat hidup secara abadi tanpa sangsi keagamaan apa pun, “Dan mereka berkata: ‘kami lebih banyak mempunyai harta dan anak-anak dan sekali-kali kami tidak akan diazab” (QS. 34:35).
Distribusi kesejahteraan yang merata (Justified Distribution of Welfare)
Di antara masalah terpenting yang mendapat perhatian Islam adalah pembagian kekayaan secara adil di tengah masyarakat. Al-Qur’an dengan tegas mengatakan, “ Supaya harta itu tidak beredar di kalangan orang kaya saja di antara kamu” (QS.59: 7), “Di antara harta mereka terdapat hak fakir miskin, baik peminta-minta maupun orang yang tak meminta-minta” (QS. 70: 24). Pembagian kekayaan ini dilakukan dalam tiga tahap, pra produksi, saat produksi dan pasca produksi. Dalam hal pembagian kekayaan ini ada keniscayaan untuk menerapkan keadilan, penyusunan kebijakan dan campur tangan pemerintahan Islam dalam aktivitas ekonomi. Karena itu, dalam sistem ekonomi Islam selain kepemilikan pribadi ada juga kepemilikan negara dan kepemilikan umum. Tentunya, apa saja yang dimiliki oleh negara akan dimanfaatkan untuk kepentingan umum dan pembiayaan pengelolaan negara. Ada pula kekayaan milik umum seperti hutan, laut, danau, gunung dan lainnya yang menurut Islam adalah milik umum. Hal-hal tadi tidak berada dalam kepemilikan negara. Negara hanya berfungsi sebagai pengawas dan pengatur pemanfaatannya, yang hasilnya digunakan untuk kepentingan umum. Dengan demikian, kekayaan ini tidak jatuh dalam monopoli segelintir orang tertentu
Dalam praktiknya, seringkali timbul konflik pengertian antara prinsip keadilan distributif ini dengan konsep “charity”. Konsep “charity” menyangkut ide “bagi semua sesuai kebutuhannya” (to each according to his needs), sedangkan dalam prinsip distributive justice, ideanya adalah “bagi semua sesuai dengan kontribusinya” (to each according to his contribution). Kesalahpahaman mengenai kedua pengertian ini sering menimbulkan dua cara pandangan ekstrim pada masing-masing posisi, sehingga menimbulkan perdebatan dan bahkan konflik yang tidak berkesudahan. Yang satu terlalu menekankan doktrin kesucian hak milik dan kesucian kontrak (the sanctity of property and the sanctity of contract), sedangkan yang lain menekankan pentingnya intervensi pemerintahan Negara untuk mempertahankan atau memaksakan tegaknya tata sosial yang berkeadilan.
Perlu diketahui, pada tataran konsep distribusi kekayaan inilah, salah satu prinsip yang menempatkan sistem ekonomi Islam berada ditengah antara sistim kapitalisme dan sistim sosialisme. Ekonomi Islam memfokuskan perhatiannya pada distribusi sebelum membahas sektor produksi. Siapakah yang memilikinya? Dengan cara bagaimana produk distribusikan, dan apa saja kewajibannya? Karenanya dalam rangka sistem distribusi kekayaan yang berkeadilan, Ekonomi Islam menganggap perlunya harmonitas antara tiga ranah kekuasaan ekonomi, yaitu negara (state), kekuatan masyarakat (civil society), dan kekuatan pasar (market) sekaligus. Bagaimana pun, dalam mekanismenya hubungan sinergis di antara ketiga cabang kekuasaan negara, pasar, dan masyarakat selalu diperlukan peran pengendali utama, yang berfungsi sebagai “dirigent” atau supervise. Peran demikian tidak lain harus dan hanya dapat dimainkan oleh negara yang mendapat mandat dari seluruh rakyat untuk memegang dan menyelenggarakan kekuasaan secara umum.
Prinsip Jaminan sosial (Social Security)
Dalam sistim ekonomi Islam, keadilan sosial dipandang tidak akan mungkin tercapai tanpa adanya prinsip ini. Prinsip Jaminan sosial atau at Takaful ijtima’i yang dimaksud dalam hal ini adalah keadaan dimana setiap orang dalam masyarakat saling menjamin dan menanggung beban kemaslahatan sesama. Prinsip ini banyak disebutkan dalam al Qur’an maupun Hadits Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, diantaranya, “Tidakkah Kamu melihat orang yang mendustakan agama? Mereka adalah orang-orang yang membiarkan anak yatim dan mereka juga tidak member makan orang-orang miskin” (QS. Al-Ma’un:1-3). Rasulullah juga bersabda, “perumpamaan orang-orang beriman itu dalam kasih sayang, sebagaimana batang tubuh, jika salah satu anggota tubuh itu sakit, maka anggota tubuh yang lain juga merasakan demam” (HR.Bukhori dan Muslim). Namun begitu, Menurut Chapra (2001) mengutip pendapat Imam Ghazali, sekalipun ilmu ekonomi Islam tetap berkonsentrasi pada aspek alokasi dan distribusi sumber-sumber daya, seperti halnya pada ilmu ekonomi konvensional, namun tujuan utama ekonomi Islam adalah harus tetap merealisasikan maqashid, sebab  tujuan utama syari’ah adalah mendorong kesejahteraan manusia, yang terletak dalam perlindungan terhadap agama mereka (diin), diri (nafs), akal (‘aql), keturunan (nasl), harta benda (maal). Apa saja yang menjamin terlindungnya lima perkara tersebut berarti melindungi kepentingan dan kemaslahatan umum. Tentang kaitan antara hukum-hukum syariah dengan kemaslahatan manusia banyak dibahas oleh para ulama diantaranya Imam Al-Izz bin Abdul Salam, dalam kitab beliau Qawaid al-Ahkam fi Masalih al-Anam.  Sebagai kesimpulan,
setidaknya ada empat nilai utama yang bisa ditarik dari sistem ekonomi Islam dalam membentuk keadilan sosial yaitu:
Tauhid dan Maslahah Syari’yyah sebagai landasan pemikiran dan tujuan aplikasi dari ekonomi Islam untuk mewujudkan keadilan sosial dari semua aspek kehidupan.
Moralitas menjadi pembatas atas kebebasan yang dimiliki, sehingga setiap individu dalam melakukan aktivitasnya selalu mempertimbangkan dampaknya bagi orang lain.
Kesetaraan (equality) kewajiban dan hak, hal ini mampu menyeimbangkan antara hak yang diterima dan kewajiban yang harus dilaksanakan.
Peranan positif dari negara, sebagai regulator yang mampu memastikan kegiatan ekonomi berjalan dengan baik sehingga tidak ada pihak yang merasa dirugikan oleh pihak lain.
Berusaha untuk selalu bermusyawarah , bekerja sama, dan saling menyokong sebab hal ini menjadi salah satu fokus utama dalam ekonomi Islam.
Terakhir hal yang tak boleh dilupakan dalam membangun sistim ekonomi yang berkeadilan sosial, adalah bahwa ekonomi Islam atau ekonomi syariah tidak boleh direduksi hanya dengan memusatkan pada upaya membangun bank-bank syariah an sich, tetapi yang lebih penting dari itu ekonomi Islam harus dapat menangkal sistem ekonomi yang exploitatory secara luas, yang memelihara dan menumbuhkan kesenjangan ekonomi, yang membiarkan terjadinya trade off secara sistemik, yang subordinatif dan diskriminatori, yang membiarkan berkembangnya laissez faire dalam arti luas melalui usaha dan ekonomi yang real dan menyentuh hajat hidup seluruh lapisan dan strata ekonomi dalam masyarakat kita. Sehingga pada gilirannya ekonomi Islam tidak lagi hanya bersifat “langitan” sebagaimana yang disindir oleh Hassan Hanafi (penulis buku Minal Aqidah Ila Al-Tsaurah) bahwa keagamaan kita terkadang lebih berorientasi kepada Tuhan daripada berorientasi kepada makhluk (tidak seimbang). Lebih senang melongok ke langit daripada menekuri bumi. Sehingga keadilan di bumi tak kunjung menjadi kesadaran keagamaan. Akibatnya, keadilan pun tak kunjung muncul dalam putaran arus kehidupan.

Sumber : http://puzzleminds.com/ekonomi-islam-dan-keadilan-sosial/#sthash.MX2Zvwpw.dpuf


No comments:

Post a Comment