Sebagian orang berkata bahwa perayaan Maulid Nabi termasuk bid’ah
hasanah karena menganggap bid’ah itu ada dua, ada bid’ah hasanah (yang
baik) dan bid’ah sayyi’ah (yang jelek). Namun ketika ditanya, apa yang
dimaksud bid’ah sayyi’ah, mereka sulit menyebutkan contohnya. Karena
semua ibadah yang tanpa tuntunan dikategorikan oleh mereka sebagai hasanah.
Padahal ulama Syafi’i seperti Ibnul ‘Atthor, murid Imam Nawawi telah
mengategorikan beberapa bid’ah yang dikatakan hasanah oleh mereka
sebagai bid’ah yang tercela. Ibnu ‘Atthor ketika menjelaskan hadits yang
dibawakan oleh gurunya, Imam Nawawi dalam Al Arba’in An Nawawiyah,
yaitu hadits nomor 5 dari ‘Aisyah tentang bid’ah, beliau berkata,
“Para ulama menganggap perbuatan bid’ah yang tidak pernah diajarkan
dalam Islam yang direkayasa oleh orang yang tidak berilmu sebagai
sesuatu yang tidak ada landasan (alias: tidak berdalil). Maka sudah
sepantasnya hal ini diingkari. Pelaku bid’ah cukup disanggah dengan
hadits yang shahih dan tegas ini karena perbuatan bid’ah itu mencacati
ibadah. Di antara perbuatan bid’ah tersebut adalah shalat roghoib dan
shalat pada malam nishfu Sya’ban, juga membaca surat Al An’am pada
raka’at satu raka’at pada malam ke-27 dari bulan Ramadhan karena orang
awam menyangka bahwa surat Al An’am turun sekaligus pada malam tersebut,
begitu pula menambah bacaan shalawat pada iqomah. ” (Lihat Syarh Al
Arba’in An Nawawiyah atau dikenal pula dengan ‘Mukhtashor An Nawawi’,
hal. 72)
Hadits ‘Aisyah yang dimaksudkan di atas adalah,
مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa membuat suatu perkara baru dalam agama kami ini yang tidak
ada asalnya, maka perkara tersebut tertolak.” (HR. Bukhari no. 20 dan
Muslim no. 1718). Dalam riwayat lain disebutkan,
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa melakukan suatu amalan yang bukan ajaran kami, maka amalan
tersebut tertolak.” (HR. Muslim no. 1718). Mereka seakan-akan menutup
mata dari hadits ini padahal hadits ini disebutkan oleh Imam Nawawi
dalam Al Arba’in An Nawawiyah. Dan Imam Nawawi sendiri mengatakan,
وَهَذَا الْحَدِيث قَاعِدَة عَظِيمَة مِنْ قَوَاعِد الْإِسْلَام ، وَهُوَ
مِنْ جَوَامِع كَلِمه صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَإِنَّهُ صَرِيح
فِي رَدّ كُلّ الْبِدَع وَالْمُخْتَرَعَات
“Hadits ini adalah
kaedah yang amat penting dari kaedah Islam dan merupakan kalimat yang
singkat namun sarat makna dari Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Hadits ini tegas mengatakan membantah setiap perbuatan bid’ah yang tidak
ada tuntunannnya.” (Lihat Syarh Shahih Muslim, 12: 16). Perkataan Imam
Nawawi di atas dibawakan pula oleh muridnya, Ibnu ‘Atthor dalam Syarh Al
Arba’in An Nawawiyah.
Supaya lebih jelas apa yang dimaksudkan
bid’ah hasanah dan bid’ah sayyi’ah, lihat perkataan Imam Nawawi ketika
membagi bid’ah menjadi lima,
فَمِنْ الْوَاجِبَة : نَظْم
أَدِلَّة الْمُتَكَلِّمِينَ لِلرَّدِّ عَلَى الْمَلَاحِدَة
وَالْمُبْتَدِعِينَ وَشِبْه ذَلِكَ . وَمِنْ الْمَنْدُوبَة : تَصْنِيف
كُتُب الْعِلْم ، وَبِنَاء الْمَدَارِس وَالرُّبُط وَغَيْر ذَلِكَ . وَمِنْ
الْمُبَاح : التَّبَسُّط فِي أَلْوَان الْأَطْعِمَة وَغَيْر ذَلِكَ .
وَالْحَرَام وَالْمَكْرُوه ظَاهِرَانِ
“Di antara bid’ah yang
wajib adalah menyusun tulisan untuk membantah ahli kalam, juga membantah
ahli bid’ah dan golongan yang menyimpang lainnya. Contoh bid’ah yang
sunnah adalah menyusun buku-buku berisi ilmu dan membangun sekolah dan
pos pertahanan untuk menjaga musuh atau semacam itu. Bid’ah yang mubah
adalah seperti mengecek warna dari makanan dan semacamnya. Sedangkan
bid’ah yang haram dan makruh, maka sudah jelas. ” (Syarh Shahih Muslim,
6: 155).
Sebelum membawa perkataan di atas, Imam Nawawi berbicara tentang hadits,
كُلّ بِدْعَة ضَلَالَة
“Setiap bid’ah adalah sesat.” (HR. Muslim no. 867). Setelah itu, beliau berkata,
هَذَا عَامّ مَخْصُوص ، وَالْمُرَاد غَالِب الْبِدَع . قَالَ أَهْل اللُّغَة : هِيَ كُلّ شَيْء عُمِلَ عَلَى غَيْر مِثَال سَابِق
“Hadits tersebut adalah umum namun maksudnya adalah khusus, yaitu
secara umum bid’ah itu tercela. Sebagaimana pakar bahasa mendefinisikan
bid’ah sebagai segala sesuatu yang diamalkan tanpa ada contoh
sebelumnya.” (Syarh Shahih Muslim, 6: 154)
Di tempat lain, beliau terangkan mengenai hadits ‘setiap bid’ah adalah sesat‘,
وَأَنَّ الْمُرَاد بِهِ الْمُحْدَثَات الْبَاطِلَة وَالْبِدَع الْمَذْمُومَة
“Yang dimaksud hadits tersebut adalah perkara batil yang dibuat-buat dan bid’ah yang tercela”(Syarh Shahih Muslim, 7: 104).
Jika kita meninjau perkataan Imam Nawawi, itu bukan berarti setiap yang
baru dan dianggap baik itu bisa diterima. Karena setiap yang baru yang
tidak ada contoh sebelumnya bisa termasuk bid’ah hasanah, bisa jadi
termasuk bid’ah sayyi’ah. Yang termasuk bid’ah hasanah jika ada
maslahat, walau tidak ada dalilnya. Seperti yang Imam Nawawi contohkan
yaitu membangun madrasah dan membantah ahli kalam. Sedangkan yang
menyelisihi ajaran Rasul, itulah yang termasuk bid’ah sayyi’ah (yang
jelek). Yang menyelisihi ajaran Rasul dan termasuk bid’ah sayyi’ah
seperti yang disebutkan oleh Ibnu ‘Atthor di atas, yaitu shalat Raghaib
dan membaca shalawat saat iqomah. Ini berarti tidak seenaknya saja kita
memasukkan suatu amalan yang kita anggap baik dalam bid’ah hasanah.
Namun mesti melihat kecocokan dengan ajaran Rasul walau tidak diajarkan
oleh beliau sebelumnya, tetapi hal itu sudah termasuk dalam dalil umum
atau pertimbangan maslahat mursalah.
Penafsiran bid’ah hasanah sangat baik jika merujuk pada perkataan Imam Syafi’i. Beliau rahimahullah pernah berkata,
والمحدثات ضربان : ما أُحدِثَ مما يُخالف كتاباً ، أو سنةً ، أو أثراً ،
أو إجماعاً ، فهذه البدعة الضلال ، وما أُحدِث مِنَ الخير ، لا خِلافَ فيه
لواحدٍ مِنْ هذا ، وهذه محدثة غيرُ مذمومة
“Perkara yang muhdats
(yang baru) itu ada dua macam, yaitu perkara yang dibuat-buat dan
menyelisihi Al Qur’an, As Sunnah, atsar (sahabat) dan ijma’, maka ini
termasuk bid’ah dholalah (yang sesat). Sedangkan perkara yang masih
dalam kebaikan yang tidak menyelisihi dalil-dalil tadi, maka itu
bukanlah perkara baru (bid’ah) yang tercela”. (Dikeluarkan oleh Al
Baihaqi dalam Manaqib Asy Syafi’i 1: 468-469. Riwayat ini shahih
sebagaimana kata Syaikh Syu’aib Al Arnauth dalam tahqiq beliau terhadap
Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, 2: 131.)
Lihatlah apa yang dimaksud
bid’ah hasanah dan bid’ah sayyi’ah (yang tercela). Yang tercela atau
bid’ah sayyi’ah adalah jika menyelisihi dalil Al Qur’an, As Sunnah,
atsar dan ijma’. Dan jelas perayaan maulid tidak memiliki dalil sama
sekali, sehingga perayaan tersebut bukan termasuk hasanah, namun
termasuk bid’ah sayyi’ah atau tercela. Adapun mengumpulkan Al Qur’an,
membukukan hadits, menyusun buku-buku agama, membangun madrasah, ini
bukan termasuk bid’ah tercela karena semuanya tercakup dalam maslahat
mursalah.
Mengenai maslahat mursalat ini diterangkan oleh Abul
‘Abbas Ibnu Taimiyah, “Setiap perkara yang faktor pendorong untuk
melakukannya di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam itu ada dan
mengandung suatu maslahat, namun beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam
tidak melakukannya, maka ketahuilah bahwa perkara tersebut bukanlah
maslahat. Namun, apabila faktor tersebut baru muncul setelah beliau
shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat dan hal itu bukanlah maksiat, maka
perkara tersebut adalah maslahat.“ (Iqtidho’ Shirotil Mustaqim, 2:
101-103)
Contoh penerapan kaedah Syaikhul Islam di atas adalah
adzan ketika shalat ‘ied. Apakah faktor pendorong untuk melakukan adzan
pada zaman beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam ada? Jawabannya: Ada
(yaitu beribadah kepada Allah). Namun, hal ini tidak dilakukan oleh Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam padahal ada faktor pendorong dan tidak
ada penghalang. Pada zaman beliau ketika melakukan shalat ‘ied tidak ada
adzan maupun iqomah. Oleh karena itu, adzan ketika itu adalah bid’ah
dan meninggalkannya adalah sunnah.
Begitu pula hal ini kita
terapkan pada kasus mengumpulkan Al Qur’an. Adakah faktor penghalang
tatkala itu? Jawabannya: Ada. Karena pada saat itu wahyu masih terus
turun dan masih terjadi perubahan hukum. Jadi, sangat sulit Al Qur’an
dikumpulkan ketika itu karena adanya faktor penghalang ini. Namun,
faktor penghalang ini hilang setelah wafatnya Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam karena wahyu dan hukum sudah sempurna dan paten. Jadi,
mengumpulkan Al Qur’an pada saat itu adalah suatu maslahat.
Silakan analogikan kaedah Ibnu Taimiyah di atas untuk perayaan Maulid Nabi.
Hanya Allah yang memberi taufik dan hidayah.
—
Riyadh-KSA, 14 Rabi’ul Awwal 1434 H
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel Muslim.Or.Id
Anda diperkenankan untuk menyebarkan, re-publikasi, copy-paste atau
mencetak artikel yang ada di muslim.or.id dengan menyertakan
muslim.or.id sebagai sumber artikel
Dari artikel 'Bedakan Bid’ah Hasanah dan Bid’ah Sayyi’ah — Muslim.Or.Id'
No comments:
Post a Comment