Terdapat beberapa
faktor yang dapat membantu seorang hamba untuk dapat melaksanakan
kesabaran jenis kedua (yaitu bersabar ketika disakiti orang lain, ed).
[Di antaranya adalah sebagai berikut:]
Pertama, hendaknya dia mengakui bahwa Allah ta’ala adalah Zat yang menciptakan segala perbuatan hamba, baik itu gerakan, diam dan keinginannya. Maka segala sesuatu yang dikehendaki Allah untuk terjadi, pasti akan terjadi. Dan segala sesuatu yang tidak dikehendaki Allah untuk terjadi, maka pasti tidak akan terjadi. Sehingga, tidak ada satupun benda meski seberat dzarrah (semut kecil, ed) yang bergerak di alam ini melainkan dengan izin dan kehendak Allah. Oleh karenanya, hamba adalah ‘alat’. Lihatlah kepada Zat yang menjadikan pihak lain menzalimimu dan janganlah anda melihat tindakannya terhadapmu. (Apabila anda melakukan hal itu), maka anda akan terbebas dari segala kedongkolan dan kegelisahan.
Kedua, hendaknya seorang mengakui akan segala dosa yang telah diperbuatnya dan mengakui bahwasanya tatkala Allah menjadikan pihak lain menzalimi (dirinya), maka itu semua dikarenakan dosa-dosa yang telah dia perbuat sebagaimana firman Allah ta’ala,
وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ
“Dan apa saja musibah yang menimpa kamu, maka itu adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).” (QS. Asy Syuura: 30).
Apabila seorang hamba mengakui bahwa segala musibah yang menimpanya dikarenakan dosa-dosanya yang telah lalu, maka dirinya akan sibuk untuk bertaubat dan memohon ampun kepada Allah atas dosa-dosanya yang menjadi sebab Allah menurunkan musibah tersebut. Dia justru sibuk melakukan hal itu dan tidak menyibukkan diri mencela dan mengolok-olok berbagai pihak yang telah menzaliminya.
(Oleh karena itu), apabila anda melihat seorang yang mencela manusia yang telah menyakitinya dan justru tidak mengoreksi diri dengan mencela dirinya sendiri dan beristighfar kepada Allah, maka ketahuilah (pada kondisi demikian) musibah yang dia alami justru adalah musibah yang hakiki. (Sebaliknya) apabila dirinya bertaubat, beristighfar dan mengucapkan, “Musibah ini dikarenakan dosa-dosaku yang telah saya perbuat.” Maka (pada kondisi demikian, musibah yang dirasakannya) justru berubah menjadi kenikmatan.
Ali bin Abi Thalib radliallahu ‘anhu pernah mengatakan sebuah kalimat yang indah,
لاَ يَرْجُوَنَّ عَبْدٌ إِلاَّ رَبَّهُ لاَ يَخَافَنَّ عَبْدٌ إلَّا ذَنْبَهُ
“Hendaknya seorang hamba hanya berharap kepada Rabb-nya dan hendaknya dia takut terhadap akibat yang akan diterima dari dosa-dosa yang telah diperbuatnya.”[1]
Dan terdapat sebuah atsar yang diriwayatkan dari Ali bin Abi Tholib dan selainnya, beliau mengatakan,
مَا نَزَلَ بَلَاءٌ إلَّا بِذَنْبِ وَلَا رُفِعَ إلَّا بِتَوْبَةِ
“Musibah turun disebabkan dosa dan diangkat dengan sebab taubat.”
Ketiga, hendaknya seorang mengetahui pahala yang disediakan oleh Allah ta’ala bagi orang yang memaafkan dan bersabar (terhadap tindakan orang lain yang menyakitinya). Hal ini dinyatakan dalam firman-Nya,
وَجَزَاءُ سَيِّئَةٍ سَيِّئَةٌ مِثْلُهَا فَمَنْ عَفَا وَأَصْلَحَ فَأَجْرُهُ عَلَى اللَّهِ إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الظَّالِمِينَ
“Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa, maka barang siapa memaafkan dan berbuat baik, maka pahalanya atas (tanggungan) Allah. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang zalim.” (QS. Asy Syuura: 40).
Ditinjau dari segi penunaian balasan, manusia terbagi ke dalam tiga golongan, yaitu [1] golongan yang zalim karena melakukan pembalasan yang melampaui batas, [2] golongan yang moderat yang hanya membalas sesuai haknya dan [3] golongan yang muhsin (berbuat baik) karena memaafkan pihak yang menzalimi dan justru meniggalkan haknya untuk membalas. Allah ta’ala menyebutkan ketiga golongan ini dalam ayat di atas, bagian pertama bagi mereka yang moderat, bagian kedua diperuntukkan bagi mereka yang berbuat baik dan bagian akhir diperuntukkan bagi mereka yang telah berbuat zalim dalam melakukan pembalasan (yang melampaui batas).
(Hendaknya dia juga) mengetahui panggilan malaikat di hari kiamat kelak yang akan berkata,
أَلاَ لِيَقُمْ مَنْ وَجَبَ أَجْرُهُ عَلَى اللَّهِ
“Perhatikanlah! Hendaknya berdiri orang-orang yang memperoleh balasan yang wajib ditunaikan oleh Allah!”[2]
(Ketika panggilan ini selesai dikumandangkan), tidak ada orang yang berdiri melainkan mereka yang (sewaktu di dunia termasuk golongan) yang (senantiasa) memaafkan dan bersabar (terhadap gangguan orang lain kepada dirinya).
Apabila hal ini diiringi dengan pengetahuan bahwa segala pahala tersebut akan hilang jika dirinya menuntut dan melakukan balas dendam, maka tentulah dia akan mudah untuk bersabar dan memaafkan (setiap pihak yang telah menzaliminya).
Keempat, hendaknya dia mengetahui bahwa apabila dia memaafkan dan berbuat baik, maka hal itu akan menyebabkan hatinya selamat dari (berbagai kedengkian dan kebencian kepada saudaranya) serta hatinya akan terbebas dari keinginan untuk melakukan balas dendam dan berbuat jahat (kepada pihak yang menzaliminya). (Sehingga) dia memperoleh kenikmatan memaafkan yang justru akan menambah kelezatan dan manfaat yang berlipat-lipat, baik manfaat itu dirasakan sekarang atau nanti.
Manfaat di atas tentu tidak sebanding dengan “kenikmatan dan manfaat” yang dirasakannya ketika melakukan pembalasan. Oleh karenanya, (dengan perbuatan di atas), dia (dapat) tercakup dalam firman Allah ta’ala,
وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ
“Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.” (QS. Ali Imran: 134).
(Dengan melaksanakan perbuatan di atas), dirinya pun menjadi pribadi yang dicintai Allah. Kondisi yang dialaminya layaknya seorang yang kecurian satu dinar, namun dia malah menerima ganti puluhan ribu dinar. (Dengan demikian), dia akan merasa sangat gembira atas karunia Allah yang diberikan kepadanya melebihi kegembiraan yang pernah dirasakannya.
Kelima, hendaknya dia mengetahui bahwa seorang yang melampiaskan dendam semata-mata untuk kepentingan nafsunya, maka hal itu hanya akan mewariskan kehinaan di dalam dirinya. Apabila dia memaafkan, maka Allah justru akan memberikan kemuliaan kepadanya. Keutamaan ini telah diberitakan oleh rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melalui sabdanya,
وَمَا زَادَ اللَّهُ عَبْدًا بِعَفْوٍ إِلاَّ عِزًّا
“Kemuliaan hanya akan ditambahkan oleh Allah kepada seorang hamba yang bersikap pemaaf.”[3]
(Berdasarkan hadits di atas) kemuliaan yang diperoleh dari sikap memaafkan itu (tentu) lebih disukai dan lebih bermanfaat bagi dirinya daripada kemuliaan yang diperoleh dari tindakan pelampiasan dendam. Kemuliaan yang diperoleh dari pelampiasan dendam adalah kemuliaan lahiriah semata, namun mewariskan kehinaan batin. (Sedangkan) sikap memaafkan (terkadang) merupakan kehinaan di dalam batin, namun mewariskan kemuliaan lahir dan batin.
Keenam, -dan hal ini merupakan salah satu faktor yang paling bermanfaat-, yaitu hendaknya dia mengetahui bahwa setiap balasan itu sesuai dengan amalan yang dikerjakan. (Hendaknya dia menyadari) bahwa dirinya adalah seorang yang zalim lagi pendosa. Begitupula hendaknya dia mengetahui bahwa setiap orang yang memaafkan kesalahan manusia terhadap dirinya, maka Allah pun akan memaafkan dosa-dosanya. Dan orang yang memohonkan ampun setiap manusia yang berbuat salah kepada dirinya, maka Allah pun akan mengampuninya. Apabila dia mengetahui pemaafan dan perbuatan baik yang dilakukannya kepada berbagai pihak yang menzalimi merupakan sebab yang akan mendatangkan pahala bagi dirinya, maka tentulah (dia akan mudah) memaafkan dan berbuat kebajikan dalam rangka (menebus) dosa-dosanya. Manfaat ini tentu sangat mencukupi seorang yang berakal (agar tidak melampiaskan dendamnya).
Ketujuh, hendaknya dia mengetahui bahwa apabila dirinya disibukkan dengan urusan pelampiasan dendam, maka waktunya akan terbuang sia-sia dan hatinya pun akan terpecah (tidak dapat berkonsentrasi untuk urusan yang lain-pent). Berbagai manfaat justru akan luput dari genggamannya. Dan kemungkinan hal ini lebih berbahaya daripada musibah yang ditimbulkan oleh berbagai pihak yang menzhaliminya. Apabila dia memaafkan, maka hati dan fisiknya akan merasa “fresh” untuk mencapai berbagai manfaat yang tentu lebih penting bagi dirinya daripada sekedar mengurusi perkara pelampiasan dendam.
Kedelapan, sesungguhnya pelampiasan dendam yang dilakukannya merupakan bentuk pembelaan diri yang dilandasi oleh keinginan melampiaskan hawa nafsu.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah melakukan pembalasan yang didasari keinginan pribadi, padahal menyakiti beliau termasuk tindakan menyakiti Allah ta’ala dan menyakiti beliau termasuk di antara perkara yang di dalamnya berlaku ketentuan ganti rugi.
Jiwa beliau adalah jiwa yang termulia, tersuci dan terbaik. Jiwa yang paling jauh dari berbagai akhlak yang tercela dan paling berhak terhadap berbagai akhlak yang terpuji. Meskipun demikian, beliau tidak pernah melakukan pembalasan yang didasari keinginan pribadi (jiwanya) (terhadap berbagai pihak yang telah menyakitinya).
Maka bagaimana bisa salah seorang diantara kita melakukan pembalasan dan pembelaan untuk diri sendiri, padahal dia tahu kondisi jiwanya sendiri serta kejelekan dan aib yang terdapat di dalamnya? Bahkan, seorang yang arif tentu (menyadari bahwa) jiwanya tidaklah pantas untuk menuntut balas (karena aib dan kejelekan yang dimilikinya) dan (dia juga mengetahui bahwa jiwanya) tidaklah memiliki kadar kedudukan yang berarti sehingga patut untuk dibela.
Kesembilan, apabila seorang disakiti atas tindakan yang dia peruntukkan kepada Allah (ibadah-pent), atau dia disakiti karena melakukan ketaatan yang diperintahkan atau karena dia meninggalkan kemaksiatan yang terlarang, maka (pada kondisi demikian), dia wajib bersabar dan tidak boleh melakukan pembalasan. Hal ini dikarenakan dirinya telah disakiti (ketika melakukan ketaatan) di jalan Allah, sehingga balasannya menjadi tanggungan Allah.
Oleh karenanya, ketika para mujahid yang berjihad di jalan Allah kehilangan nyawa dan harta, mereka tidak memperoleh ganti rugi karena Allah telah membeli nyawa dan harta mereka.
Dengan demikian, ganti rugi menjadi tanggungan Allah, bukan di tangan makhluk. Barangsiapa yang menuntut ganti rugi kepada makhluk (yang telah menyakitinya), tentu dia tidak lagi memperoleh ganti rugi dari Allah. Sesungguhnya, seorang yang mengalami kerugian (karena disakiti) ketika beribadah di jalan Allah, maka Allah berkewajiban memberikan gantinya.
Apabila dia tersakiti akibat musibah yang menimpanya, maka hendaknya dia menyibukkan diri dengan mencela dirinya sendiri. Karena dengan demikian, dirinya tersibukkan (untuk mengoreksi diri dan itu lebih baik daripada) dia mencela berbagai pihak yang telah menyakitinya.
Apabila dia tersakiti karena harta, maka hendaknya dia berusaha menyabarkan jiwanya, karena mendapatkan harta tanpa dibarengi dengan kesabaran merupakan perkara yang lebih pahit daripada kesabaran itu sendiri.
Setiap orang yang tidak mampu bersabar terhadap panas terik di siang hari, terpaan hujan dan salju serta rintangan perjalanan dan gangguan perampok, maka tentu dia tidak usah berdagang.
Realita ini diketahui oleh manusia, bahwa setiap orang yang memang jujur (dan bersungguh-sungguh) dalam mencari sesuatu, maka dia akan dianugerahi kesabaran dalam mencari sesuatu itu sekadar kejujuran (dan kesungguhan) yang dimilikinya.
Kesepuluh, hendaknya dia mengetahui kebersamaan, kecintaan Allah dan ridla-Nya kepada dirinya apabila dia bersabar. Apabila Allah membersamai seorang, maka segala bentuk gangguan dan bahaya -yang tidak satupun makhluk yang mampu menolaknya- akan tertolak darinya. Allah ta’ala berfirman,
وَاللَّهُ يُحِبُّ الصَّابِرِينَ
“Allah menyukai orang-orang yang bersabar.” (QS. Ali ‘Imran: 146).
Kesebelas, hendaknya dia mengetahui bahwa kesabaran merupakan sebagian daripada iman. Oleh karena itu, sebaiknya dia tidak mengganti sebagian iman tersebut dengan pelampiasan dendam. Apabila dia bersabar, maka dia telah memelihara dan menjaga keimanannya dari aib (kekurangan). Dan Allah-lah yang akan membela orang-orang yang beriman.
Kedua belas, hendaknya dia mengetahui bahwa kesabaran yang dia laksanakan merupakan hukuman dan pengekangan terhadap hawa nafsunya. Maka tatkala hawa nafsu terkalahkan, tentu nafsu tidak mampu memperbudak dan menawan dirinya serta menjerumuskan dirinya ke dalam berbagai kebinasaan.
Tatkala dirinya tunduk dan mendengar hawa nafsu serta terkalahkan olehnya, maka hawa nafsu akan senantiasa mengiringinya hingga nafsu tersebut membinasakannya kecuali dia memperoleh rahmat dari Rabb-nya.
Kesabaran mengandung pengekangan terhadap hawa nafsu berikut setan yang (menyusup masuk di dalam diri). Oleh karenanya, (ketika kesabaran dijalankan), maka kerajaan hati akan menang dan bala tentaranya akan kokoh dan menguat sehingga segenap musuh akan terusir.
Ketiga belas, hendaknya dia mengetahui bahwa tatkala dia bersabar , maka tentu Allah-lah yang menjadi penolongnya. Maka Allah adalah penolong bagi setiap orang yang bersabar dan memasrahkan setiap pihak yang menzaliminya kepada Allah.
Barangsiapa yang membela hawa nafsunya (dengan melakukan pembalasan), maka Allah akan menyerahkan dirinya kepada hawa nafsunya sendiri sehingga dia pun menjadi penolongnya.
Jika demikian, apakah akan sama kondisi antara seorang yang ditolong Allah, sebaik-baik penolong dengan seorang yang ditolong oleh hawa nafsunya yang merupakan penolong yang paling lemah?
Keempat belas, kesabaran yang dilakukan oleh seorang akan melahirkan penghentian kezhaliman dan penyesalan pada diri musuh serta akan menimbulkan celaan manusia kepada pihak yang menzalimi. Dengan demikian, setelah menyakiti dirinya, pihak yang zhalim akan kembali dalam keadaan malu terhadap pihak yang telah dizaliminya. Demikian pula dia akan menyesali perbuatannya, bahkan bisa jadi pihak yang zalim akan berubah menjadi sahabat karib bagi pihak yang dizhalimi. Inilah makna firman Allah ta’ala,
ô ادْفَعْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ فَإِذَا الَّذِي بَيْنَكَ وَبَيْنَهُ عَدَاوَةٌ كَأَنَّهُ وَلِيٌّ حَمِيمٌ (34) وَمَا يُلَقَّاهَا إِلَّا الَّذِينَ صَبَرُوا وَمَا يُلَقَّاهَا إِلَّا ذُو حَظٍّ عَظِيمٍ (35)
“Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia. Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar dan tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keuntungan yang besar.” (QS. Fushshilaat: 34-35).
Kelima belas, terkadang pembalasan dendam malah menjadi sebab yang akan menambah kejahatan sang musuh terhadap dirinya. Hal ini juga justru akan memperkuat dorongan hawa nafsu serta menyibukkan pikiran untuk memikirkan berbagai bentuk pembalasan yang akan dilancarkan sebagaimana hal ini sering terjadi.
Apabila dirinya bersabar dan memaafkan pihak yang menzhaliminya, maka dia akan terhindar dari berbagai bentuk keburukan di atas. Seorang yang berakal, tentu tidak akan memilih perkara yang lebih berbahaya.
Betapa banyak pembalasan dendam justru menimbulkan berbagai keburukan yang sulit untuk dibendung oleh pelakunya. Dan betapa banyak jiwa, harta dan kemuliaan yang tetap langgeng ketika pihak yang dizalimi menempuh jalan memaafkan.
Keenam belas, sesungguhnya seorang yang terbiasa membalas dendam dan tidak bersabar mesti akan terjerumus ke dalam kezaliman. Karena hawa nafsu tidak akan mampu melakukan pembalasan dendam dengan adil, baik ditinjau dari segi pengetahuan (maksudnya hawa nafsu tidak memiliki parameter yang pasti yang akan menunjukkan kepada dirinya bahwa pembalasan dendam yang dilakukannya telah sesuai dengan kezaliman yang menimpanya, pent-) dan kehendak (maksudnya ditinjau dari segi kehendak, hawa nafsu tentu akan melakukan pembalasan yang lebih, pent-).
Terkadang, hawa nafsu tidak mampu membatasi diri dalam melakukan pembalasan dendam sesuai dengan kadar yang dibenarkan, karena kemarahan (ketika melakukan pembalasan dendam) akan berjalan bersama pemiliknya menuju batas yang tidak dapat ditentukan (melampaui batas, pent-). Sehingga dengan demikian, posisi dirinya yang semula menjadi pihak yang dizalimi, yang menunggu pertolongan dan kemuliaan, justru berubah menjadi pihak yang zalim, yang akan menerima kehancuran dan siksaan.
Ketujuh belas, kezaliman yang diderita akan menjadi sebab yang akan menghapuskan berbagai dosa atau mengangkat derajatnya. Oleh karena itu, apabila dia membalas dendam dan tidak bersabar, maka kezaliman tersebut tidak akan menghapuskan dosa dan tidakpula mengangkat derajatnya.
Kedelapan belas, kesabaran dan pemaafan yang dilakukannya merupakan pasukan terkuat yang akan membantunya dalam menghadapi sang musuh.
Sesungguhnya setiap orang yang bersabar dan memaafkan pihak yang telah menzaliminya, maka sikapnya tersebut akan melahirkan kehinaan pada diri sang musuh dan menimbulkan ketakutan terhadap dirinya dan manusia. Hal ini dikarenakan manusia tidak akan tinggal diam terhadap kezaliman yang dilakukannya tersebut, meskipun pihak yang dizalimi mendiamkannya. Apabila pihak yang dizalimi membalas dendam, seluruh keutamaan itu akan terluput darinya.
Oleh karena itu, anda dapat menjumpai sebagian manusia, apabila dia menghina atau menyakiti pihak lain, dia akan menuntut penghalalan dari pihak yang telah dizaliminya. Apabila pihak yang dizalimi mengabulkannya, maka dirinya akan merasa lega dan beban yang dahulu dirasakan akan hilang.
Kesembilan belas, apabila pihak yang dizalimi memaafkan sang musuh, maka hati sang musuh akan tersadar bahwa kedudukan pihak yang dizalimi berada di atasnya dan dirinya telah menuai keuntungan dari kezaliman yang telah dilakukannya. Dengan demikian, sang musuh akan senantiasa memandang bahwa kedudukan dirinya berada di bawah kedudukan pihak yang telah dizaliminya. Maka tentu hal ini cukup menjadi keutamaan dan kemuliaan dari sikap memaafkan.
Kedua puluh, apabila seorang memaafkan, maka sikapnya tersebut merupakan suatu kebaikan yang akan melahirkan berbagai kebaikan yang lain, sehingga kebaikannya akan senantiasa bertambah.
Sesungguhnya balasan bagi setiap kebaikan adalah kontinuitas kebaikan (kebaikan yang berlanjut), sebagaimana balasan bagi setiap keburukan adalah kontinuitas keburukan (keburukan yang terus berlanjut). Dan terkadang hal ini menjadi sebab keselamatan dan kesuksesan abadi. Apabila dirinya melakukan pembalasan dendam, seluruh hal itu justru akan terluput darinya.[4]
الحمد لله الذي بنعمته تتم الصالحات
Diterjemahkan dari risalah Ahmad bin Abdul Halim Al Haroni Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
-semoga Allah merahmati beliau-
Penerjemah: Muhammad Nur Ichwan Muslim
Artikel muslim.or.id
[1] Lihat penjelasan perkataan beliau ini dalam Majmu’ al Fatawa (8/161-180).
[2] HR. Ibnu Abi Hatim dan Ibnu Mardawaih serta selain mereka berdua dari sahabat Ibnu’ Abbas dan Anas. Lihat ad Durr al Mantsur (7/359).
[3] HR. Muslim (2588) dari sahabat Abu Hurairah.
[4] Selesai diterjemahkan dengan bebas dari risalah Al Qo’idatu fish Shobr, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, pada hari Senin, tanggal 27 Rabi’ul Awwal 1430 H, Griya Cempaka Arum K4/7, Bandung.
Dari artikel 'Tips Bersabar (2): Sabar Ketika Disakiti Orang Lain — Muslim.Or.Id'
Pertama, hendaknya dia mengakui bahwa Allah ta’ala adalah Zat yang menciptakan segala perbuatan hamba, baik itu gerakan, diam dan keinginannya. Maka segala sesuatu yang dikehendaki Allah untuk terjadi, pasti akan terjadi. Dan segala sesuatu yang tidak dikehendaki Allah untuk terjadi, maka pasti tidak akan terjadi. Sehingga, tidak ada satupun benda meski seberat dzarrah (semut kecil, ed) yang bergerak di alam ini melainkan dengan izin dan kehendak Allah. Oleh karenanya, hamba adalah ‘alat’. Lihatlah kepada Zat yang menjadikan pihak lain menzalimimu dan janganlah anda melihat tindakannya terhadapmu. (Apabila anda melakukan hal itu), maka anda akan terbebas dari segala kedongkolan dan kegelisahan.
Kedua, hendaknya seorang mengakui akan segala dosa yang telah diperbuatnya dan mengakui bahwasanya tatkala Allah menjadikan pihak lain menzalimi (dirinya), maka itu semua dikarenakan dosa-dosa yang telah dia perbuat sebagaimana firman Allah ta’ala,
وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ
“Dan apa saja musibah yang menimpa kamu, maka itu adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).” (QS. Asy Syuura: 30).
Apabila seorang hamba mengakui bahwa segala musibah yang menimpanya dikarenakan dosa-dosanya yang telah lalu, maka dirinya akan sibuk untuk bertaubat dan memohon ampun kepada Allah atas dosa-dosanya yang menjadi sebab Allah menurunkan musibah tersebut. Dia justru sibuk melakukan hal itu dan tidak menyibukkan diri mencela dan mengolok-olok berbagai pihak yang telah menzaliminya.
(Oleh karena itu), apabila anda melihat seorang yang mencela manusia yang telah menyakitinya dan justru tidak mengoreksi diri dengan mencela dirinya sendiri dan beristighfar kepada Allah, maka ketahuilah (pada kondisi demikian) musibah yang dia alami justru adalah musibah yang hakiki. (Sebaliknya) apabila dirinya bertaubat, beristighfar dan mengucapkan, “Musibah ini dikarenakan dosa-dosaku yang telah saya perbuat.” Maka (pada kondisi demikian, musibah yang dirasakannya) justru berubah menjadi kenikmatan.
Ali bin Abi Thalib radliallahu ‘anhu pernah mengatakan sebuah kalimat yang indah,
لاَ يَرْجُوَنَّ عَبْدٌ إِلاَّ رَبَّهُ لاَ يَخَافَنَّ عَبْدٌ إلَّا ذَنْبَهُ
“Hendaknya seorang hamba hanya berharap kepada Rabb-nya dan hendaknya dia takut terhadap akibat yang akan diterima dari dosa-dosa yang telah diperbuatnya.”[1]
Dan terdapat sebuah atsar yang diriwayatkan dari Ali bin Abi Tholib dan selainnya, beliau mengatakan,
مَا نَزَلَ بَلَاءٌ إلَّا بِذَنْبِ وَلَا رُفِعَ إلَّا بِتَوْبَةِ
“Musibah turun disebabkan dosa dan diangkat dengan sebab taubat.”
Ketiga, hendaknya seorang mengetahui pahala yang disediakan oleh Allah ta’ala bagi orang yang memaafkan dan bersabar (terhadap tindakan orang lain yang menyakitinya). Hal ini dinyatakan dalam firman-Nya,
وَجَزَاءُ سَيِّئَةٍ سَيِّئَةٌ مِثْلُهَا فَمَنْ عَفَا وَأَصْلَحَ فَأَجْرُهُ عَلَى اللَّهِ إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الظَّالِمِينَ
“Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa, maka barang siapa memaafkan dan berbuat baik, maka pahalanya atas (tanggungan) Allah. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang zalim.” (QS. Asy Syuura: 40).
Ditinjau dari segi penunaian balasan, manusia terbagi ke dalam tiga golongan, yaitu [1] golongan yang zalim karena melakukan pembalasan yang melampaui batas, [2] golongan yang moderat yang hanya membalas sesuai haknya dan [3] golongan yang muhsin (berbuat baik) karena memaafkan pihak yang menzalimi dan justru meniggalkan haknya untuk membalas. Allah ta’ala menyebutkan ketiga golongan ini dalam ayat di atas, bagian pertama bagi mereka yang moderat, bagian kedua diperuntukkan bagi mereka yang berbuat baik dan bagian akhir diperuntukkan bagi mereka yang telah berbuat zalim dalam melakukan pembalasan (yang melampaui batas).
(Hendaknya dia juga) mengetahui panggilan malaikat di hari kiamat kelak yang akan berkata,
أَلاَ لِيَقُمْ مَنْ وَجَبَ أَجْرُهُ عَلَى اللَّهِ
“Perhatikanlah! Hendaknya berdiri orang-orang yang memperoleh balasan yang wajib ditunaikan oleh Allah!”[2]
(Ketika panggilan ini selesai dikumandangkan), tidak ada orang yang berdiri melainkan mereka yang (sewaktu di dunia termasuk golongan) yang (senantiasa) memaafkan dan bersabar (terhadap gangguan orang lain kepada dirinya).
Apabila hal ini diiringi dengan pengetahuan bahwa segala pahala tersebut akan hilang jika dirinya menuntut dan melakukan balas dendam, maka tentulah dia akan mudah untuk bersabar dan memaafkan (setiap pihak yang telah menzaliminya).
Keempat, hendaknya dia mengetahui bahwa apabila dia memaafkan dan berbuat baik, maka hal itu akan menyebabkan hatinya selamat dari (berbagai kedengkian dan kebencian kepada saudaranya) serta hatinya akan terbebas dari keinginan untuk melakukan balas dendam dan berbuat jahat (kepada pihak yang menzaliminya). (Sehingga) dia memperoleh kenikmatan memaafkan yang justru akan menambah kelezatan dan manfaat yang berlipat-lipat, baik manfaat itu dirasakan sekarang atau nanti.
Manfaat di atas tentu tidak sebanding dengan “kenikmatan dan manfaat” yang dirasakannya ketika melakukan pembalasan. Oleh karenanya, (dengan perbuatan di atas), dia (dapat) tercakup dalam firman Allah ta’ala,
وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ
“Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.” (QS. Ali Imran: 134).
(Dengan melaksanakan perbuatan di atas), dirinya pun menjadi pribadi yang dicintai Allah. Kondisi yang dialaminya layaknya seorang yang kecurian satu dinar, namun dia malah menerima ganti puluhan ribu dinar. (Dengan demikian), dia akan merasa sangat gembira atas karunia Allah yang diberikan kepadanya melebihi kegembiraan yang pernah dirasakannya.
Kelima, hendaknya dia mengetahui bahwa seorang yang melampiaskan dendam semata-mata untuk kepentingan nafsunya, maka hal itu hanya akan mewariskan kehinaan di dalam dirinya. Apabila dia memaafkan, maka Allah justru akan memberikan kemuliaan kepadanya. Keutamaan ini telah diberitakan oleh rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melalui sabdanya,
وَمَا زَادَ اللَّهُ عَبْدًا بِعَفْوٍ إِلاَّ عِزًّا
“Kemuliaan hanya akan ditambahkan oleh Allah kepada seorang hamba yang bersikap pemaaf.”[3]
(Berdasarkan hadits di atas) kemuliaan yang diperoleh dari sikap memaafkan itu (tentu) lebih disukai dan lebih bermanfaat bagi dirinya daripada kemuliaan yang diperoleh dari tindakan pelampiasan dendam. Kemuliaan yang diperoleh dari pelampiasan dendam adalah kemuliaan lahiriah semata, namun mewariskan kehinaan batin. (Sedangkan) sikap memaafkan (terkadang) merupakan kehinaan di dalam batin, namun mewariskan kemuliaan lahir dan batin.
Keenam, -dan hal ini merupakan salah satu faktor yang paling bermanfaat-, yaitu hendaknya dia mengetahui bahwa setiap balasan itu sesuai dengan amalan yang dikerjakan. (Hendaknya dia menyadari) bahwa dirinya adalah seorang yang zalim lagi pendosa. Begitupula hendaknya dia mengetahui bahwa setiap orang yang memaafkan kesalahan manusia terhadap dirinya, maka Allah pun akan memaafkan dosa-dosanya. Dan orang yang memohonkan ampun setiap manusia yang berbuat salah kepada dirinya, maka Allah pun akan mengampuninya. Apabila dia mengetahui pemaafan dan perbuatan baik yang dilakukannya kepada berbagai pihak yang menzalimi merupakan sebab yang akan mendatangkan pahala bagi dirinya, maka tentulah (dia akan mudah) memaafkan dan berbuat kebajikan dalam rangka (menebus) dosa-dosanya. Manfaat ini tentu sangat mencukupi seorang yang berakal (agar tidak melampiaskan dendamnya).
Ketujuh, hendaknya dia mengetahui bahwa apabila dirinya disibukkan dengan urusan pelampiasan dendam, maka waktunya akan terbuang sia-sia dan hatinya pun akan terpecah (tidak dapat berkonsentrasi untuk urusan yang lain-pent). Berbagai manfaat justru akan luput dari genggamannya. Dan kemungkinan hal ini lebih berbahaya daripada musibah yang ditimbulkan oleh berbagai pihak yang menzhaliminya. Apabila dia memaafkan, maka hati dan fisiknya akan merasa “fresh” untuk mencapai berbagai manfaat yang tentu lebih penting bagi dirinya daripada sekedar mengurusi perkara pelampiasan dendam.
Kedelapan, sesungguhnya pelampiasan dendam yang dilakukannya merupakan bentuk pembelaan diri yang dilandasi oleh keinginan melampiaskan hawa nafsu.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah melakukan pembalasan yang didasari keinginan pribadi, padahal menyakiti beliau termasuk tindakan menyakiti Allah ta’ala dan menyakiti beliau termasuk di antara perkara yang di dalamnya berlaku ketentuan ganti rugi.
Jiwa beliau adalah jiwa yang termulia, tersuci dan terbaik. Jiwa yang paling jauh dari berbagai akhlak yang tercela dan paling berhak terhadap berbagai akhlak yang terpuji. Meskipun demikian, beliau tidak pernah melakukan pembalasan yang didasari keinginan pribadi (jiwanya) (terhadap berbagai pihak yang telah menyakitinya).
Maka bagaimana bisa salah seorang diantara kita melakukan pembalasan dan pembelaan untuk diri sendiri, padahal dia tahu kondisi jiwanya sendiri serta kejelekan dan aib yang terdapat di dalamnya? Bahkan, seorang yang arif tentu (menyadari bahwa) jiwanya tidaklah pantas untuk menuntut balas (karena aib dan kejelekan yang dimilikinya) dan (dia juga mengetahui bahwa jiwanya) tidaklah memiliki kadar kedudukan yang berarti sehingga patut untuk dibela.
Kesembilan, apabila seorang disakiti atas tindakan yang dia peruntukkan kepada Allah (ibadah-pent), atau dia disakiti karena melakukan ketaatan yang diperintahkan atau karena dia meninggalkan kemaksiatan yang terlarang, maka (pada kondisi demikian), dia wajib bersabar dan tidak boleh melakukan pembalasan. Hal ini dikarenakan dirinya telah disakiti (ketika melakukan ketaatan) di jalan Allah, sehingga balasannya menjadi tanggungan Allah.
Oleh karenanya, ketika para mujahid yang berjihad di jalan Allah kehilangan nyawa dan harta, mereka tidak memperoleh ganti rugi karena Allah telah membeli nyawa dan harta mereka.
Dengan demikian, ganti rugi menjadi tanggungan Allah, bukan di tangan makhluk. Barangsiapa yang menuntut ganti rugi kepada makhluk (yang telah menyakitinya), tentu dia tidak lagi memperoleh ganti rugi dari Allah. Sesungguhnya, seorang yang mengalami kerugian (karena disakiti) ketika beribadah di jalan Allah, maka Allah berkewajiban memberikan gantinya.
Apabila dia tersakiti akibat musibah yang menimpanya, maka hendaknya dia menyibukkan diri dengan mencela dirinya sendiri. Karena dengan demikian, dirinya tersibukkan (untuk mengoreksi diri dan itu lebih baik daripada) dia mencela berbagai pihak yang telah menyakitinya.
Apabila dia tersakiti karena harta, maka hendaknya dia berusaha menyabarkan jiwanya, karena mendapatkan harta tanpa dibarengi dengan kesabaran merupakan perkara yang lebih pahit daripada kesabaran itu sendiri.
Setiap orang yang tidak mampu bersabar terhadap panas terik di siang hari, terpaan hujan dan salju serta rintangan perjalanan dan gangguan perampok, maka tentu dia tidak usah berdagang.
Realita ini diketahui oleh manusia, bahwa setiap orang yang memang jujur (dan bersungguh-sungguh) dalam mencari sesuatu, maka dia akan dianugerahi kesabaran dalam mencari sesuatu itu sekadar kejujuran (dan kesungguhan) yang dimilikinya.
Kesepuluh, hendaknya dia mengetahui kebersamaan, kecintaan Allah dan ridla-Nya kepada dirinya apabila dia bersabar. Apabila Allah membersamai seorang, maka segala bentuk gangguan dan bahaya -yang tidak satupun makhluk yang mampu menolaknya- akan tertolak darinya. Allah ta’ala berfirman,
وَاللَّهُ يُحِبُّ الصَّابِرِينَ
“Allah menyukai orang-orang yang bersabar.” (QS. Ali ‘Imran: 146).
Kesebelas, hendaknya dia mengetahui bahwa kesabaran merupakan sebagian daripada iman. Oleh karena itu, sebaiknya dia tidak mengganti sebagian iman tersebut dengan pelampiasan dendam. Apabila dia bersabar, maka dia telah memelihara dan menjaga keimanannya dari aib (kekurangan). Dan Allah-lah yang akan membela orang-orang yang beriman.
Kedua belas, hendaknya dia mengetahui bahwa kesabaran yang dia laksanakan merupakan hukuman dan pengekangan terhadap hawa nafsunya. Maka tatkala hawa nafsu terkalahkan, tentu nafsu tidak mampu memperbudak dan menawan dirinya serta menjerumuskan dirinya ke dalam berbagai kebinasaan.
Tatkala dirinya tunduk dan mendengar hawa nafsu serta terkalahkan olehnya, maka hawa nafsu akan senantiasa mengiringinya hingga nafsu tersebut membinasakannya kecuali dia memperoleh rahmat dari Rabb-nya.
Kesabaran mengandung pengekangan terhadap hawa nafsu berikut setan yang (menyusup masuk di dalam diri). Oleh karenanya, (ketika kesabaran dijalankan), maka kerajaan hati akan menang dan bala tentaranya akan kokoh dan menguat sehingga segenap musuh akan terusir.
Ketiga belas, hendaknya dia mengetahui bahwa tatkala dia bersabar , maka tentu Allah-lah yang menjadi penolongnya. Maka Allah adalah penolong bagi setiap orang yang bersabar dan memasrahkan setiap pihak yang menzaliminya kepada Allah.
Barangsiapa yang membela hawa nafsunya (dengan melakukan pembalasan), maka Allah akan menyerahkan dirinya kepada hawa nafsunya sendiri sehingga dia pun menjadi penolongnya.
Jika demikian, apakah akan sama kondisi antara seorang yang ditolong Allah, sebaik-baik penolong dengan seorang yang ditolong oleh hawa nafsunya yang merupakan penolong yang paling lemah?
Keempat belas, kesabaran yang dilakukan oleh seorang akan melahirkan penghentian kezhaliman dan penyesalan pada diri musuh serta akan menimbulkan celaan manusia kepada pihak yang menzalimi. Dengan demikian, setelah menyakiti dirinya, pihak yang zhalim akan kembali dalam keadaan malu terhadap pihak yang telah dizaliminya. Demikian pula dia akan menyesali perbuatannya, bahkan bisa jadi pihak yang zalim akan berubah menjadi sahabat karib bagi pihak yang dizhalimi. Inilah makna firman Allah ta’ala,
ô ادْفَعْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ فَإِذَا الَّذِي بَيْنَكَ وَبَيْنَهُ عَدَاوَةٌ كَأَنَّهُ وَلِيٌّ حَمِيمٌ (34) وَمَا يُلَقَّاهَا إِلَّا الَّذِينَ صَبَرُوا وَمَا يُلَقَّاهَا إِلَّا ذُو حَظٍّ عَظِيمٍ (35)
“Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia. Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar dan tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keuntungan yang besar.” (QS. Fushshilaat: 34-35).
Kelima belas, terkadang pembalasan dendam malah menjadi sebab yang akan menambah kejahatan sang musuh terhadap dirinya. Hal ini juga justru akan memperkuat dorongan hawa nafsu serta menyibukkan pikiran untuk memikirkan berbagai bentuk pembalasan yang akan dilancarkan sebagaimana hal ini sering terjadi.
Apabila dirinya bersabar dan memaafkan pihak yang menzhaliminya, maka dia akan terhindar dari berbagai bentuk keburukan di atas. Seorang yang berakal, tentu tidak akan memilih perkara yang lebih berbahaya.
Betapa banyak pembalasan dendam justru menimbulkan berbagai keburukan yang sulit untuk dibendung oleh pelakunya. Dan betapa banyak jiwa, harta dan kemuliaan yang tetap langgeng ketika pihak yang dizalimi menempuh jalan memaafkan.
Keenam belas, sesungguhnya seorang yang terbiasa membalas dendam dan tidak bersabar mesti akan terjerumus ke dalam kezaliman. Karena hawa nafsu tidak akan mampu melakukan pembalasan dendam dengan adil, baik ditinjau dari segi pengetahuan (maksudnya hawa nafsu tidak memiliki parameter yang pasti yang akan menunjukkan kepada dirinya bahwa pembalasan dendam yang dilakukannya telah sesuai dengan kezaliman yang menimpanya, pent-) dan kehendak (maksudnya ditinjau dari segi kehendak, hawa nafsu tentu akan melakukan pembalasan yang lebih, pent-).
Terkadang, hawa nafsu tidak mampu membatasi diri dalam melakukan pembalasan dendam sesuai dengan kadar yang dibenarkan, karena kemarahan (ketika melakukan pembalasan dendam) akan berjalan bersama pemiliknya menuju batas yang tidak dapat ditentukan (melampaui batas, pent-). Sehingga dengan demikian, posisi dirinya yang semula menjadi pihak yang dizalimi, yang menunggu pertolongan dan kemuliaan, justru berubah menjadi pihak yang zalim, yang akan menerima kehancuran dan siksaan.
Ketujuh belas, kezaliman yang diderita akan menjadi sebab yang akan menghapuskan berbagai dosa atau mengangkat derajatnya. Oleh karena itu, apabila dia membalas dendam dan tidak bersabar, maka kezaliman tersebut tidak akan menghapuskan dosa dan tidakpula mengangkat derajatnya.
Kedelapan belas, kesabaran dan pemaafan yang dilakukannya merupakan pasukan terkuat yang akan membantunya dalam menghadapi sang musuh.
Sesungguhnya setiap orang yang bersabar dan memaafkan pihak yang telah menzaliminya, maka sikapnya tersebut akan melahirkan kehinaan pada diri sang musuh dan menimbulkan ketakutan terhadap dirinya dan manusia. Hal ini dikarenakan manusia tidak akan tinggal diam terhadap kezaliman yang dilakukannya tersebut, meskipun pihak yang dizalimi mendiamkannya. Apabila pihak yang dizalimi membalas dendam, seluruh keutamaan itu akan terluput darinya.
Oleh karena itu, anda dapat menjumpai sebagian manusia, apabila dia menghina atau menyakiti pihak lain, dia akan menuntut penghalalan dari pihak yang telah dizaliminya. Apabila pihak yang dizalimi mengabulkannya, maka dirinya akan merasa lega dan beban yang dahulu dirasakan akan hilang.
Kesembilan belas, apabila pihak yang dizalimi memaafkan sang musuh, maka hati sang musuh akan tersadar bahwa kedudukan pihak yang dizalimi berada di atasnya dan dirinya telah menuai keuntungan dari kezaliman yang telah dilakukannya. Dengan demikian, sang musuh akan senantiasa memandang bahwa kedudukan dirinya berada di bawah kedudukan pihak yang telah dizaliminya. Maka tentu hal ini cukup menjadi keutamaan dan kemuliaan dari sikap memaafkan.
Kedua puluh, apabila seorang memaafkan, maka sikapnya tersebut merupakan suatu kebaikan yang akan melahirkan berbagai kebaikan yang lain, sehingga kebaikannya akan senantiasa bertambah.
Sesungguhnya balasan bagi setiap kebaikan adalah kontinuitas kebaikan (kebaikan yang berlanjut), sebagaimana balasan bagi setiap keburukan adalah kontinuitas keburukan (keburukan yang terus berlanjut). Dan terkadang hal ini menjadi sebab keselamatan dan kesuksesan abadi. Apabila dirinya melakukan pembalasan dendam, seluruh hal itu justru akan terluput darinya.[4]
الحمد لله الذي بنعمته تتم الصالحات
Diterjemahkan dari risalah Ahmad bin Abdul Halim Al Haroni Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
-semoga Allah merahmati beliau-
Penerjemah: Muhammad Nur Ichwan Muslim
Artikel muslim.or.id
[1] Lihat penjelasan perkataan beliau ini dalam Majmu’ al Fatawa (8/161-180).
[2] HR. Ibnu Abi Hatim dan Ibnu Mardawaih serta selain mereka berdua dari sahabat Ibnu’ Abbas dan Anas. Lihat ad Durr al Mantsur (7/359).
[3] HR. Muslim (2588) dari sahabat Abu Hurairah.
[4] Selesai diterjemahkan dengan bebas dari risalah Al Qo’idatu fish Shobr, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, pada hari Senin, tanggal 27 Rabi’ul Awwal 1430 H, Griya Cempaka Arum K4/7, Bandung.
Dari artikel 'Tips Bersabar (2): Sabar Ketika Disakiti Orang Lain — Muslim.Or.Id'
No comments:
Post a Comment