Beberapa pendapat tentang : Pengucapan Sayyidina Muhammad
1. Pendapat yang melarang pengucapannya baik di dalam shalat maupun di luar Shalat
Mereka yang menambahkan kata sayidina ketika membaca sholawat berdalil
dengan hadis bahwa Rasulullah bersabda “Aku adalah sayyid (junjungan)
anak Adam pada hari kiamat dan orang pertama yang terbuka kuburnya di
hari kebangkitan dan orang pertama yang mensyaf
aati dan orang
pertama yang disyafaati.” (Berkata Al-Imam As-Suyuthi dalam kitab beliau
Jam’ul Jawami’ (Al-Jami’ul Kabir): “Hadits ini diriwayatkan oleh Imam
Muslim dan Abu Dawud dari Abu Hurairah radliyallahu `anhu.”).
Akan tetapi perlu difahami bahwa kata sayyid disini hanya bentuk
pengkabaran bahwa nabi adalah penghulu diakhirat bukan dijadikan nama
panggilan secara mutlak karena ada hadis yang lain Dari Abdillah bin
Asy-Syakhkhir, dia menceritakan bahwa ayahnya menceritakan: Datang
seorang pria menghadap Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam. Pria
tersebut menyatakan kepada beliau: “Engkau adalah sayyid Quraisy.” Maka
Nabi shallallahu `alaihi wa sallam menyatakan kepadanya: “Yang dikatakan
as-sayyid itu adalah Allah.” Kemudian pria menyatakan lagi kepada
beliau: “Engkau itu adalah orang yang paling utama omongannya dari
kalangan mereka dan paling agung kedudukanmu. Maka Rasulullah
shallallahu `alaihi wa sallam menyatakan: “hendaknya kalian menyatakan
tentang aku seperti yang dikatakan oleh Allah (yakni sebagaimana Allah
menggelari beliau, yaitu Nabiyullah dan Rasulullah) dan jangan sampai
setan menyeret dia kepada tipu dayanya.” (HR. Ahmad dalam Musnadnya
jilid 4 hal. 24 – 25).
Hadis yang pertama dengan yang kedua
tidak bertentangan karena maksud kata sayyid adalah pujian yang
berlebihan terhadap rasulullah saw dan rasulullah tidak menyukai ucapan
ini untuk menjaga kemurnian tauhid lihat penjelasannya di kitab Fathul
Majid Bab.66.(Upaya nabi dalam menjaga kemurnian tauhid dan menutup
segala jalan menuju syirik).
Dan rasulullah mengajarkan para
sahabatnya membaca shalawat tanpa ucapan "sayyidina" lihat kitab Shifat
Shalat Nabi oleh Syaikh M. Nashiruddin Al Albani, Shifat Shalawat Nabi
oleh Ust.Abd Hakim bin Amir Abdat.
Jadi kita tidak perlu
mengucapkan kata sayyidina diluar shalat apalagi di dalam shalat karena
Rasullullah Saw tidak pernah mengajarkan kepada para sahabat untuk
mengucapkan Sayyidina ketika barshalawat juga para sahabat tidak ada
yang melakukannya walaupun dengan alasan hanya untuk menghormati
rasulullah saw.
karena shalawat termasuk ibadah dan ibadah sifatnya tauqifiyah,dan tidak ada
satu orang sahabatpun yang mengucapkan sayyidina dalam shalawat,jika penambahan
ini baik tentu sahabat radhiyallahu anhum tentu sudah mempraktekkannya adapun
sub'hat tentang bahwa rasulullah tidak mengucapkan sayyidina karena kerendahan
hati,adalah ungkapan yang dapat mengandung kebatilan karena rasulullah pernah
mengucapkan sayyid,dan di sana tidak ada kesombongan.Adapun bahwa
ucapan tersebut adalaah adab kepada rasulullah,maka dapat dijawab bahwa
adab terhadap rasulallah adalah menempatkan beliau sesuai dengan maqam
beliau sebagai hamba Allah dan Rasul-Nya dengan konsekuensi menjalankan
dan mengikuti tuntunannya"dan tidak ada petunjuk(hadyi) yang lebih baik
selain petunjuk(hadyu) Muhammad shalallahu ‘alaihi
wassalam"
2. Pendapat yang melarang pengucapannya di dalam shalat dan membolehkannya di luar Shalat.
Lafadh “sayyidina” dalam bahasa arab maknanya ialah sebagaimana yang diterangkan oleh para ulama berikut ini:
1). Al-Imam Muhyidin Abi Zakaria Yahya bin Syaraf An-Nawawi Ad-Dimasqi
rahimahullah mengatakan: “Ketahuilah olehmu bahwa lafadh sayyid itu
adalah gelar yang diberikan kepada orang yang paling tinggi kedudukannya
pada kaumnya dan paling dimuliakan mereka. Lafadh ini diberikan pula
bagi pimpinan dan orang mulia. juga lafadh ini diberikan kepada orang
yang penyabar yang mampu menguasai kemarahan dan mampu mengendalikannya.
Diberikan pula lafadh sayyid kepada dermawan, dan kepada raja (kepala
negara). Juga lafadh ini diberikan oleh istri kepada suaminya. Dan
terdapat banyak hadits memberikan istilah sayyid kepada orang yang
mempunyai keutamaan.” (Al-Adzkar An-Nawawi, hal. 418, Fashlun fi Lafdlis
Sayyid)
2). Al-Imam Majduddin Abus Sa’adat Al-Mubarak bin
Muhammad Al-Jazari Ibnul Atsir rahimahullah menerangkan: “Kata As-Sayyid
sebagai sebutan bagi Allah, diberikan pula sebagai panggilan bagi raja
(kepala negara), orang yang terhormat, orang mulia, dermawan, penyabar,
yaitu orang yang sabar menanggung gangguan yang menyakitkan kaumnya.
Kata itu juga diberikan bagi suami, juga pimpinan dan orang yang
dikedepankan dalam kalangan kaumnya…. (An-Nihayah jilid 2 hal. 418)
Dari keterangan dua ulama tersebut tahulah kita bahwa gelar as-sayyid
adalah kehormatan bagi pihak yang digelari dengan kata tersebut. Adapun
kenyataan bahwa sebagian orang memahami dilarang memberi gelar sayyidina
Muhammad bagi Nabi shallallahu `alaihi wa sallam karena salam paham
terhadap hadits Nabi berikut ini:
Dari Abdillah bin
Asy-Syakhkhir, dia menceritakan bahwa ayahnya menceritakan: Datang
seorang pria menghadap Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam. Pria
tersebut menyatakan kepada beliau: “Engkau adalah sayyid Quraisy.” Maka
Nabi shallallahu `alaihi wa sallam menyatakan kepadanya: “Yang dikatakan
as-sayyid itu adalah Allah.” Kemudian pria menyatakan lagi kepada
beliau: “Engkau itu adalah orang yang paling utama omongannya dari
kalangan mereka dan paling agung kedudukanmu. Maka Rasulullah
shallallahu `alaihi wa sallam menyatakan: “hendaknya kalian menyatakan
tentang aku seperti yang dikatakan oleh Allah (yakni sebagaimana Allah
menggelari beliau, yaitu Nabiyullah dan Rasulullah) dan jangan sampai
setan menyeret dia kepada tipu dayanya.” (HR. Ahmad dalam Musnadnya
jilid 4 hal. 24 – 25)
Dalam hadits ini Rasulullah shallallahu
`alaihi wa sallam menolak untuk dikatakan sebagai sayyidu Quraisy.
Sehingga dipahami oleh sebagian orang bahwa tidak boleh menyebut
sayyidina Muhammad. Dan pemahaman yang demikian tidaklah tepat bila
melihat kelengkapan hadits ini. Dari kelengkapan hadits ini sesungguhnya
kita dapat mengerti bahwa yang beliau tolak adalah sikap memuji-muji
yang melampaui batas dan yang demikian ini akan memberi peluang kepada
setan untuk menyeret yang dipuji maupun yang memuji dalam perangkapnya.
Al-Imam Abu Sa’adat Ibnul Atsir rahimahullah menerangkan tentang hadits
tersebut: “Beliau memang sepantasnya menduduki posisi pimpinan. Tetapi
beliau tidak suka disanjung di depannya dan beliau lebih suka tawadlu’
(berendah hati)).” (An-Nihayah fi Gharibil Hadits wal Atsar jilid 2 hal.
417).
Jadi bukan karena beliau melarang pemberian gelar sayyid bagi
beliau karena hadits Nabi shallallahu `alaihi wa sallam yang lainnya
menegaskan tentang kedudukan beliau sebagai sayyid:
“Aku adalah
sayyid (junjungan) anak Adam pada hari kiamat dan orang pertama yang
terbuka kuburnya di hari kebangkitan dan orang pertama yang mensyafaati
dan orang pertama yang disyafaati.” (Berkata Al-Imam As-Suyuthi dalam
kitab beliau Jam’ul Jawami’ (Al-Jami’ul Kabir): “Hadits ini diriwayatkan
oleh Imam Muslim dan Abu Dawud dari Abu Hurairah radliyallahu `anhu.”)
(Lihat Jami’ul Ahadits, As-Suyuthi jilid 2 hal. 190 hadits 4770)
Maka sesungguhnya mengucapkan sayyidina Muhammad, sayyidina Abu Bakar,
Sayyidina Ali dan selanjutnya adalah boleh, kecuali dalam doa yang
diajarkan oleh Nabi shallallahu `alaihi wa sallam dalam shalat, seperti
shalawat Nabi dalam duduk at-tahiyyat. Nabi kita mengajarkan shalawat
itu tanpa kalimat sayyidina Muhammad atau pun sayyidina Ibrahim. Maka
kita tidak boleh menambahkan sayyidina ketika membaca shalawat tersebut
karena beliau tidak mengajarkannya, sebab Nabi shallallahu `alaihi wa
sallam telah bersabda:
“Shalatlah kalian seperti kalian melihat aku shalat.”
3. Pendapat yang mensunnahkan pengucapannya baik di dalam maupun di luar shalat.
Kata-kata “sayyidina” atau ”tuan” atau “yang mulia” seringkali
digunakan oleh kaum muslimin, baik ketika shalat maupun di luar shalat.
Hal itu termasuk amalan yang sangat utama, karena merupakan salah satu
bentuk penghormatan kepada Nabi Muhammad SAW. Syeikh Ibrahim bin
Muhammad al-Bajuri menyatakan:
“Yang lebih utama adalah
mengucapkan sayyidina (sebelum nama Nabi SAW), karena hal yang lebih
utama bersopan santun (kepada Beliau).” (Hasyisyah al-Bajuri, juz I, hal
156).
Pendapat ini didasarkan pada hadits Nabi SAW:
عن أبي هريرةقا ل , قا ل ر سو ل الله صلي الله عليه وسلم أنَا سَيِّدُ
وَلَدِ آدَمَ يَوْمَ القِيَامَةِ وَأوَّلُ مَنْ يُنْسَقُّ عَنْهُ الْقَبْرُ
وَأوَّلُ شَافعٍ وأول مُشَافِعٍ
“Diriwayatkan dari Abu Hurairah
RA ia berkata, Rasulullah SAW bersabda, “Saya adalah sayyid (penghulu)
anak adam pada hari kiamat. Orang pertama yang bangkit dari kubur, orang
yang pertama memberikan syafaa’at dan orang yang pertama kali diberi
hak untuk membrikan syafa’at.” (Shahih Muslim, 4223).
Hadits
ini menyatakan bahwa nabi SAW menjadi sayyid di akhirat. Namun bukan
berarti Nabi Muhammad SAW menjadi sayyid hanya pada hari kiamat saja.
Bahkan beliau SAW menjadi sayyid manusia didunia dan akhirat.
Sebagaimana yang dikemukakan oleh sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki
al-Hasani:
“Kata sayyidina ini tidak hanya tertentu untuk Nabi
Muhammad SAW di hari kiamat saja, sebagaimana yang dipahami oleh
sebagian orang dari beberapa riwayat hadits 'saya adalah sayyidnya anak
cucu adam di hari kiamat.' Tapi Nabi SAW menjadi sayyid keturunan ‘Adam
di dunia dan akhirat”. (dalam kitabnya Manhaj as-Salafi fi Fahmin
Nushush bainan Nazhariyyah wat Tathbiq, 169)
Ini sebagai
indikasi bahwa Nabi SAW membolehkan memanggil beliau dengan sayyidina.
Karena memang kenyataannya begitu. Nabi Muhammad SAW sebagai junjungan
kita umat manusia yang harus kita hormati sepanjang masa.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa membaca sayyidina ketika membaca
shalawat kepada Nabi Muhammad SAW boleh-boleh saja, bahkan dianjurkan.
Demikian pula ketika membaca tasyahud di dalam shalat.
KESIMPULAN
Silahkan anda memilih salah satu dari tiga pendapat di atas sesuai keyaqinan anda,
No comments:
Post a Comment